Rumbai Pekanbaru (II)
Kisah salah satu tulisan dari Para Mantan Karyawan PT Caltex
yang dirangkum dalam buku
KOMPAK DI DUNIA MINYAK
Suka Duka Kiprah Karyawan Caltex
Penyunting: Renville Almatsier
Diterbitkan oleh: Himpunan Pensiunan Caltex (HPC), Lounching: 09-OCT-2010.
Tahun 1963 Ayah dan Mak sekeluarga pernah tinggal di Rumbai, karena
Ayah bekerja di Caltex, dua tahun kemudian kami pindah lagi ke Jakarta.
Kata
orang
Pekanbaru
kalau
sudah
minum
air
Sungai
Siak
pasti
akan
kembali lagi.
Awal tahun 1975 saya melamar kerja ke PT Clatex Pacific Indonesia,
beberapa
pertimbangan
saya antara lain adalah ada fasilitas perumahan, sekolah lengkap sampai SMA,
fasilitas olahraga, kesehatan dan fasilitas umum lainnya dan yang paling menarik
adalah kelengkapan computer baik hardware, software dan application systems
serta kesempatan belajar yang sangat luas. Tanggal 18 Maret saya kerja di Caltex
sebagai
programmer dan mendapat assignment mengerjakan dan me-maintain Payroll System
dibawah supervisi Mas Taslim Malik. Seperti kita sama tahu bahwa pembayaran
gaji pegawai tidak boleh ditunda, sehingga perhitungan gaji dan pencetakan
salary
slip tidak boleh terlambat. Kalau ada perubahan peraturan tentang perhitungan
gaji atau pajak, kadang-kadang kami harus bergadang sampai pagi di computer
room. Enaknya tiap bulan bisa gajian dua atau tiga hari sebelum pegawai lain
terima
gaji karena
selalu kerjasama dengan bagian Payroll.
Waktu
itu belum ada pembayaran gaji secara online lewat Bank, jadi pegawai Payroll
keliling ke kantor-kantor bawa peti besi berisi amplop gaji.
|
|
Semua pegawai
serta keluarga dilengkapi dengan peneng atau badge seperti gambar
disamping, unik juga bentuknya
mirip tutup botol, ada beberapa warna latar, diantaranya, merah,
biru, hijau dan jaman ayah saya dulu ada yang warna kuning. Kita
harus memperlihatkan badge kalau mau mengunakan fasilitas perusahaan
misalnya, masuk kantor, rumah sakit, club house, bioskop, perpustakaan
dan lai-lain. Apalagi kalau mau mengambil gaji wajib memakai badge.
Waktu saya mulai bekerja sudah tidak ada lagi pembagian natura
(beras, gula, sabun dll.) macam jaman ayah dulu, karena sudah dimasukkan
kedalam komponen gaji pokok.
|
Pada waktu percobaan selama tiga bulan saya tinggal di DBQ atau
rumah tinggal lajangan dan makan di mess hall, sarapan, makan siang dan makan
malam.
Disamping
me-maintain Payroll System, kegiatan rutin waktu itu antara lain belajar computer
programming PLI, CICS pakai video cassette, berenang dan perbaikan gizi (menu
di mess hall sangat beragam mulai dari telor setengah matang, dadar, pan
cake, sirloin steak, tederloin steak, T-bone steak macam macam masakan eropa,
indonesia dan padang).
Selesai masa percobaan saya kembali ke Jakarta menjemput istri
dan anak pertama kami Erwin Sagata yang waktu itu baru berumur satu setengah
tahun. Dua minggu
di
DBQ,
kami
pindah ke rumah tipe IV dekat Taman Kanak-Kanak Lama. Pergi dan pulang kantor
ada jemputan bus panjang, kendaraan kenangan saya waktu kelas tiga SMP dan
tinggal di Kampung Bedeng. Sekali waktu Mak dan Ibu Metua saya datang
menjenguk ke Rumbai,
beliau berdua berkata kasihan ya anak kita kayak di kebun binatang, maklum
bus panjang yang biasa menjemput, jendelanya masih memakai kawat
ram .... he he.
Pengalaman unik waktu belanja pertama kali ke Pasar Bawah
dengan istri saya Erry, perginya bawa keranjang kosong, pulangnya bawa
keranjang
kosong lagi. Memang
waktu itu pasar belum seramai sekarang, timun yang dijual timun darat, kulit
luarnya berwarna kuning dan keras dan sayur lain sulit didapat.
Tapi lama kelamaan kami jadi biasa dan dengan bertambah baiknya sarana transportasi
ke Sumbar dan Sumut maka sayur mayur, buah-buahan dan ikan semakin banyak dan
mudah didapat. Malah acara ke pasar menjadi acara rekreasi di ujung minggu bersama
tetangga, kami menunggu di halte bus dan ada bus antar jemput belanja.
Setahun kemudian kami pindah ke rumah tipe III di KM tiga setengah, kebetulan
di depan rumah ada halte bus, sehingga banyak tetangga yang mampir sambil menungu
bus keliling atau bus belanja. Anak kami yang kedua Ogi Dwiputra lahir waktu
kami menempati rumah ini. Salah satu tetangga kami adalah keluarga Alm. Pak
Zamzami, beliau sering memberi nasehat dan pembelajaran kepada kami.
Suatu hari beliau
main kerumah dan melihat jendela kaca ruang tamu kami tidak ada gorden, lalu
beliau berkata sama istri saya, Neng orang aja pake baju masak jendela nggak
pake gorden. Waktu itu lantai ubin rumah kami belum ada karpet, terus di talangin
sama Pak Zamzami beli karpet, katanya kesian anak-anak kedinginan kalau duduk
di ubin, untung juga punya tetangga yang peduli ..... he he.
Dari
KM tiga setengah
kami
pindah
ke
rumah
tipe
I
di daerah Tanah Merah, karena kami merasa agak lama tinggal disini, saya mulai
menanam pohon bunga dan merawat pohon jambu dan mangga yang sudah ditanam
oleh penghuni sebelum kami. Karena banyak waktu luang, terutama saat week end,
saya sempat menanam pohon cabe rawit dan terong di halaman belakang. Tidak
berapa jauh dari halaman belakang kami terdapat semak yang ditumbuhi pohon
sempor, laban
dan belukar lain. Kalau lagi musim berbuah banyak burung punai dan murbah yang
datang. Salah satu tetangga kami Pak Yosep suka nembak burung, beliau sering
memberi kami burung hasil buruannya. Di semak tersebut banyak juga burung murbah
yang bersarang, sehingga saya sempat mengajak anak kami Erwin dan Ogi melihat
burung membuat sarang, mengerami telurnya dan melihat induk burung memberi
makan anak-anaknya. Mudah-mudahan mereka masih ingat karena pada zaman sekarang,
sangat
jarang sekali kita mendapatkan kesempatan seperti itu, apalagi di kota besar.
|
|
source internet |
source internet |
Terakhir pada tahun 1980 kami pindah ke rumah baru
di
komplek
Meranti dekat American School, kami bertetangga dengan keluarga Mas Taslim
Malik yang juga baru pindah kesitu dari Porta Camp. Karena kebetulan satu
bagian dan
sama sama menempati brand new houses, kami mengadakan selamatan bersama.
Tenda dipasang di halaman diantara rumah kami, makanan dan minuman beli
patungan
bersama lalu ngundang teman-teman satu kantor, meriah dan ekonomis.
Waktu membangun sepuluh rumah di komplek
Meranti tersebut, top soil dikupas, rumah dibangun kemudian halaman
di beri lapisan tanah hitam dan ditanam rumput. Kalau rumput kita pacul untuk
menanam
bunga misalnya, maka langsung kena tanah liat bercampur pasir karena tebal
tanah hitam kurang dari dua cm. Tanah liat campur pasir tersebut sangat keras
dan tidak
mengandung humus sehingga membuat tanaman merana, hidup segan mati tak mau,
kerdil dan susah tumbuh. Untung disekitar perumahan terdapat sisa hutan yang
memang sengaja dilestarikan yang merupakan salah satu keunikan dan daya tarik
untuk tinggal di Rumbai Camp.
Hampir tiap hari saya dan gardener mengambil humus dan tanah hitam di hutan
tersebut dan belakangan perusahaan menyediakan top soil bagi
penghuni
rumah yan membutuhkannya.
Untuk menanam pohon, mula-mula kita gali lubang dengan lebar, panjang dan dalam
sesuai kebutuhan, tanah liat dan pasir disingkirkan, lalu lubang diisi dengan
tanah hitam yang sudah dicampur dengan pupuk kandang ayam. Yang
paling berat adalah menggali lubang karena tanah liat sangat keras, apalagi
kalau
ukuran
lubangnya agak besar misalnya untuk menanam pohon kelapa. Dihalaman rumah kami
ada pohon kedondong, kelapa, durian, aneka jambu air,
mangga, sawo kecik, pohon buni,
jambu kemang, keramunting, pinang merah, pohon salam, jeruk sambal, jeruk purut,
manggis, srikaya, delima, dadap, lamtoro, asam jawa, kelapa sawit dll. Selain
asri, pohon tadi menjadi tempat singgah macam-macam burung, kera, lutung dan
beruk.
Bermacam-macam
pohon tadi juga berguna sebagai contoh
buat
anak-anak
kami serta kawan-kawan yang datang berkunjung. Anak bungsu kami Winry Marini
lahir setahun setelah kami menempati rumah ini. Nampaknya Winry yang paling
terkesan
dengan
suasana
di
Rumbai dan
menikmati
keberadaan pohon-pohon dan tanaman baik di halaman rumah maupun di hutan disekitar
camp.
|
|
|
source wikipedia |
|
source wikipedia |
Ketiga anak kami, Alhamdulillah menamatkan sekolah di SMA Cendana
Rumbai. Istri saya lulus dari Universitas Lancang Kuning jurusan Sastra
Inggris
dan sempat
mengajar beberapa tahun di universitas tersebut. Erwin tamat S1 dari
Universitas Trisakti jurusan Accounting dan S2 dari Universitas Bina
Nusantara, Ogi tamat
S1 dari Universitas Bina Nusantara jurusan IT dan S2 dari UI, sedangkan
Winry tamat S1 dari Universitas Trisakti jurusan Visual Communication
akhir tahun
2003
sebelum
saya memasuki masa pensiun.
Kami sekeluarga sangat bersykur dapat menjadi bagian dari komunitas PT CPI
karena hampir semua kebutuhan dan keperluan kami disediakan oleh perusahaan
baik di tempat kerja maupun di rumah, fasilitas pendidikan, kesehatan, olahraga,
transportasi, rekrreasi, tempat menunaikan ibadah dan lain lain, pokoknya komplit
dan sangat memuaskan.
Awal Juli 2004 saya memasuki masa pensiun setelah bekerja hampir 30 tahun di
Caltex dan tepat pada tanggal 1 Juli 2004 kami pindah ke Jakarta.
Contoh peneng atau badge dan driving permit sebagai tambahn SIM yang
merupakan salah satu syarat untuk mengemudikan kendaraan perusahaan.
|
|
|